Rabu, 24 Juli 2019

Memoar: "behind the scene" Sulsel-Kalsel

"Manusia tak bisa mengubah arah angin, tapi ia bisa menyesuaikan arah layar"

Kutipan bijak di atas merupakan sebuah contoh penerapan dalam membaca kesempatan. Hal ini sebenarnya hanya bermodalkan keberanian. Namun pada kenyataannya tindakan kecil untuk memanfaatkan peluang dan kesempatan tersebut jarang dilakukan. Konon menurut sebagian orang yang saya temui, mereka malah cenderung membuang kesempatan yang datang karena dinilai tidak sesuai dengan target dan tujuan yang ingin dicapai.

Memasang target adalah sebuah keharusan bagi orang-orang visioner. Namun untuk mencapai target tersebut, seharusnya ia betul-betul paham,  bahwa untuk mendapat target dan mencapai tujuan, terkadang kita harus mengambil jalan berliku dan berputar. Bahkan tak jarang jalan yang diambil sangat berbeda dengan jalan yang biasa dilewati kebanyakan orang. Tapi hal terpenting adalah sampai pada tujuan yang diinginkan, walau kadang lebih lama dari waktu yang seharusnya. Kalau waktu pencapaian yang lebih lama ini menjadi masalah, ya silahkan membuang kesempatan dan akhirnya berujung penyesalan.

*****

Sebagaimana manusia pada umumnya, saya memiliki ketertarikan untuk "jalan-jalan". Walaupun bukan mengejar objek wisata, tapi jauh di dalam hati saya, saya sangat terobsesi untuk mengunjungi pulau-pulau di luar sumatera. Di tahun 2012, saya memasang target untuk menginjakkan kaki (minimal di satu kota saja) di Pulau Kalimantan, Sulawesi dan Irian selama saya masih berstatus mahasiswa.

Walaupun hingga tulisan ini saya buat, keinginan untuk sampai ke Papua tersebut urung terlaksana. Namun kehadiran diri saya di Pulau Kalimantan dan Sulawesi berhasil saya wujudkan di akhir-akhir masa studi saya. Semua karena itu tadi, selama ini saya terlalu terpaku dengan target dan mengabaikan jalan lain untuk sampai ke sana. Tetapi pada akhirnya saya melihat kesempatan, walaupun memutar jalan dan waktu tercapainya lebih lama.

*****

Setelah memasuki masa-masa penyusunan skripsi, sebenarnya saya sempat mencoret target untuk menginjakkan kaki ke 3 pulau di luar Sumatera dan Jawa. Hal ini akibat saya tak pernah lolos pada kegiatan-kegiatan fully funded di ketiga pulau tersebut.

Kenapa harus fully funded? Karena utk mengajukan proposal pembiayaan di kampus kami susahnya minta ampun (apalagi kalau yang mengajukan adalah individu). Namun Alhamdulillah, tuhan semesta alam telah memberikan saya kesempatan mencapai 2 dari 3 target perjalanan saya. Tentu saja hal ini juga berkat persetujuan kedua orang tua yang selalu mendo'akan keberhasilan kepada anak-anaknya untuk mencapai mimpi..

*****

Pertama, Sulawesi. kesempatan untuk menginjakkan kaki ke sana saat saya masih berstatus mahasiswa muncul pada tahun 2016. Pada tahun itu, sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa di tingkat Universitas di kampus saya diancam akan dibubarkan karena gagal melakukan realisasi anggaran dan vakum kepengurusannya. Saya yang sudab beberapa bulan demisioner dari BEM UNRI langsung memanfaatkan kabar tersebut.

Sebagai seorang mahasiswa yang juga pernah fokus pada dunia olahraga mahasiswa, saya juga cukup mengikuti info kegiatan dwi tahunan olahraga mahasiswa, yaitu POMNAS (Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional) yang pada tahun 2017 akan dihelat oleh BAPOMI (Badan Pembina Olahraga Mahasiswa) Sulsel sebagai tuan rumah.

Tak berlama-lama, akhirnya, saya memanfaatkan kevakuman UKM Olahraga dengan mengaktifkan kembali organisasi tersebut dan menjadi pucuk pimpinannya dan langsung mengenalkan kelembagaan yang saya pimpin kepada mahasiswa UNRI pada kegiatan tahunan BEM UNRI, UNRI EXPO. Selanjutnya, saya melakukan beberapa improvisasi yang saya rasa akan menaikkan "pamor" dan memperlihatkan kesuksesan saya sebagai ketua. Salah satunya adalah memperbanyak cabor di bawah UKM Olahraga serta mengenalkan lembaga yang tak pernah diketahui kebanyakan mahasiswa di UNRI tersebut dengan selalu memenuhi undangan kelembagaan lain maupun kegiatan-kegiatan kemahasiswaan UNRI. Walaupun saya lebih sering menyuruh pengurus saya yang hadir, tentu saja tujuannya untuk memberikan mereka panggung dan memperluas pergaulan, mengingat saat itu saya sudah cukup uzur untuk menunjukkan eksistensi di kampus. Alasan utamanya sih ya kewajiban Muslim utk memenuhi undangan.

Tak terlalu lama berselang setelah saya menjadi ketua UKM, saya mendapat kesempatan membahas POMNAS yang akan diadakan di Makassar dengan Wakil Rektor 3 bidang kemahasiswaan dan alumni UNRI. Hal yang sangat saya tunggu.

Selain sesama berasal dari Sumbar, komunikasi kami juga lebih cair karena sesama perokok. Beliau juga selalu memperlakukan saya seperti teman sepergaulannya. WR3 UNRI tersebut memang terkenal ramah dan dekat dengan mahasiswa. Di tengah pembicaraan ngalor ngidul penuh canda, saya sampaikan bahwa saya ingin menyaksikan POMNAS dan ingin menginjakkan kaki di Indonesia tengah dan timur.

Hasil dari diskusi-diskusi estafet kami tentang pomnas adalah menunjuk UKM OR UNRI sbg pelaksana seleksi mahasiswa UNRI calon peserta POMNAS untuk mewakili Riau. Saat memasuki masa-masa libur semester, yang mana hampir semua pengurus UKM OR sedang menjalani masa-masa KKN, WR3 memberikan arahan utk memulai seleksi terhadap mahasiswa UNRI yang akan dikirim BAPOMI Riau utk ikut POMNAS. Saat itu, kami yang tidak menganggarkan seleksi POMNAS saat musrenbang tidak mendapatkan suplai anggaran, sehingga seleksi tersebut kami adakan seadanya.

Gayung bersambut, pelaksanaan POMNAS semakin dekat, saya dipanggil ke ruang WR3 dan mendapat arahan terkait keberangkatan POMNAS. Saya akan berangkat 2 minggu ke depan walaupun kala itu saya sedang bersiap untuk ke Mentawai mengikuti ENJ 2017. Keberangkatan ke sulawesi akan dilaksanakan saat saya masih melakukan pengabdian pada kegiatan yang berinduk pada Kemenkomar RI tersebut. Jadilah saya berangkat ke Mentawai namun tidak mengikuti ENJ 2017 sampai selesai.

Pulau kedua, Kalimantan. Pada perhelatan Olahraga Mahasiswa Nasional, saya banyak bertemu dengan ketua UKM OR dari daerah lain. Dimulai dari sharing informasi, keluh kesah permasalahan olahraga di daerah masing-masing hingga konsolidasi dan penyamaan persepsi tentang visi misi dunia olahraga mahasiswa, maka kami sepakat untuk membentuk forum UKM OR se Indonesia dan akan mengadakan munas pertama di caturwulan pertama 2018. Saya yang berencana akan mengadakan suksesi di akhir tahun 2017 (paska POMNAS dan menyesuaikan dengan pembukuan anggaran di Kampus) akhirnya melihat peluang untuk "jalan-jalan" ke Kalimantan dan memutuskan memperpanjang masa jabatan di UKM. Artinya, saat semester 14 pun saya masih memikul amanah di kelembagaan kampus.

Seiring berjalan waktu paska pertemuan di POMNAS, saya melakukan lobby-lobby agar MUNAS pertama Forum UKM OR (Unit Kegiatan Mahasiswa Olahraga) se-Indonesia tersebut diadakan di Kalimantan. Akhirnya UIN Antasari di Banjarmasin menyanggupi tugas sebagai tuan rumah tersebut. Jadilah saya berangkat ke Kalimantan Selatan sebagai perwakilan dari UKM OR UNRI didampingi oleh wakil dan bendahara saya di kepengurusan UKM.

Walau hanya secuil Sulawesi dan Kalimantan, yang penting target sudah terjajaki.

Kalau ingin ke Jakarta, jangan paksakan harus naik pesawat karena harga tiket pesawat sedang menggila. Lebih baik kau naik bus. Walaupun lebih lama, harus singgah ke Jambi, Palembang dan Lampung lalu menyeberang pakai kapal ferry, kau akan tetap sampai Jakarta.

Berlayarlah nak. Walau kau tak bisa mengubah arah angin, tapi kau bisa menyesuaikan arah layar.

Minggu, 21 Juli 2019

sepenggal cerita dari timur

Toleransi menjadi sebuah kata yang erat kaitannya dengan politik belakangan ini. Kata ini kerap didengungkan saat akan ada pemilihan kepala daerah apabila salah satu calon kepala daerah ada yang beragama berbeda dengan mayoritas penduduk di daerah tersebut. Lihat saja Pilgub Jakarta. Namun penggunaan kata "Toleransi" tersebut sangat berbeda dengan “Toleransi” antar umat beragama yang saya rasakan saat menginjakkan kaki di Desa Dullah Laut.

Desa Dullah Laut, merupakan sebuah desa yang terletak di Pulau Duroa Kota Tual Provinsi Maluku. Mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun di desa ini terdapat sebuah dusun yang hanya dihuni oleh orang-orang beragama kristen (Dusun Duroa). Menurut banyak warga yang saya wawancarai, ketika konflik antar penganut agama (kristen-islam) yang melanda Maluku tahun 1999 silam, desa ini tidak terpengaruh sama sekali. Malahan, penduduk Muslim di desa ini menjaga penduduk kristen yang jumlahnya lebih sedikit dari serangan Muslim dari luar desa. Begitulah masyarakat Desa Dullah Laut memberikan contoh bagaimana sebenarnya toleransi itu, walaupun mereka jauh dari hingar bingar kota besar dan belum terlalu diperhatikan “oleh pembangunan”.


bersama dua orang penerus bangsa asli Tual.
Pembangunan yang tertinggal, itulah kalimat yang dirasa tepat apabila disematkan ke Desa Dullah Laut. Selain karena letak geografisnya yang berada di Timur Indonesia, Desa Ini juga terpisah dari pusat pemerintahan Kota Tual karena Desa Dullah Laut berada di Pulau yang berbeda. Selain keterbatasan fasilitas umum, desa ini juga belum dialiri listrik. Walaupun pada tahun 2018 silam di desa ini sudah dibangun gardu mesin PLTD, namun waktu pengoperasian sumber listrik di desa ini belum diketahui. Selain itu, di desa ini juga ada para pengabdi di dunia kesehatan, para relawan “Nusantara Sehat” yang ditugaskan di puskesmas desa Dullah Laut yang memiliki banyak alat-alat medis "berbahan bakar" listrik, namun hanya dapat digunakan sesekali saja. Sama halnya seperti SM3T, Indonesia Mengajar, Patriot Energi, Ekspedisi NKRI, Ekspedisi Nusantara Jaya, KKN (Kuliah Kerja Nyata) dan program-program kerelawanan pengembangan dan pendampingan masyarakat lainnya tentu menjadi parameter dan indikator khusus bagaimana kita akan menilai kemajuan sebuah daerah.


Berbicara tentang ketertinggalan suatu daerah tentu akan menjadi tidak adil apabila kita hanya melihat dari sudut pandang masyarakat menilai pemerintah saja. Berdasarkan hasil wawancara yang kami lakukan kepada masyarakat, ternyata Desa Dullah Laut ini pernah diberikan generator (PLTD) sebagai sumber listrik di desa ini. Namun akibat kelalaian masyarakat, gardu pembangkit listrik ini terbakar. Kemudian  pada tahun 2011, di desa ini juga dipasang PLTS yang merupakan bantuan KKP, namun seperti sebelumnya, gardu PLTS ini juga terbakar. Konon berdasarkan pengakuan masyarakat, gardu ini terbakar akibat pemakaian listrik yang berlebihan oleh masyarakat. Selain itu, panel surya di desa ini juga dijual oleh oknum perangkat desa pada masa itu kepada masyarakat dengan harga murah.

Selain listrik, desa ini juga memiliki permasalahan lain yaitu sumber air. Tercatat di desa ini hanya ada 5 sumber air yaitu 3 di kampung Muslim (desa), 2 di kampung kristen (dusun). Dan belakangan beberapa sumber air tersebut juga sudah menjadi air slobar (payau atau mengandung garam), seperti sumber air di wilayah pesisir lain di Indonesia. Pada saat kedatangan kami di desa ini, hanya ada satu sumber air tawar yang terletak di dusun, sisanya? Air Payau. Silahkan bayangkan bagaimana mandi karena badan lengket oleh keringat menjadi lengket karena air asin. Benarkah sumber air su dekat?

Di balik keterbatasan yang dialami Desa Dullah laut, desa ini sebenarnya memiliki potensi wisata bahari yang siap menggeser posisi Raja Ampat di Papua Barat sebagai salah satu destinasi wisata bahari terfavorit di Indonesia Timur. Desa Dullah laut memiliki potensi kelautan perikanan berupa beberapa jenis  ikan, lobster, kerang mutiara, teripang, rumput laut dan lain-lain. Namun tidak hadirnya BUMN dan BUMD yang bergerak di bidang kelautan dan perikanan di tengah-tengah nelayan menjadi bukti bahwa potensi ini tidak diperhatikan oleh pemerintah daerah apalagi pemerintah pusat. Selain itu, potensi kelautan desa ini juga dieksploitasi oleh perseorangan tanpa memikirkan profit untuk desa. Salah satunya adalah kerang mutiara. Desa Dullah Laut pernah mengalami konflik karena sebuah pulau. (P. Ohoimas) dikuasai oleh WNI keturunan Tionghoa yang digunakan untuk budidaya kerang mutiara. Namun harga kontrak pemanfaatan lahan (kawasan pulau dan perairannya) sangat rendah. Hal ini menyebabkan protes masyarakat yang konon berujung bentrok antar warga setempat dengan sekelompok massa dari luar pulau yang melindungi kepentingan pemilik budidaya kerang mutiara tersebut.

Selain sejarah berkonflik, sebenarnya juga banyak hal-hal positif yang dapat kita ambil dari masyarakat Maluku khususnya masyarakat Desa Dullah Laut, yang sebagian besar penduduknya adalah nelayan. Dengan keterbatasan utama berupa listrik, mereka dapat hidup dengan optimisme dan hajat merubah hidup yang tak kalah besar dari orang yang hidup di kota besar. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pemuda yang berkuliah dan telah menjadi alumni perguruan tinggi di berbagai daerah di Indonesia. Walaupun susahnya mendapakan pekerjaan dan membuat sebagian besar dari mereka berakhir menjadi nelayan kecil dan penjaga kios milik orang tuanya namun bagaimana selayaknya seorang sarjana, mereka menjaga nalar yang kritis dan maju untuk menyumbangkan gagasan demi kemajuan desa.

Ada yang unik ketika kami mulai mencari akses komunikasi ke pemerintah Desa Dullah Laut. Desa ini tidak dipimpin oleh Kades definitif, tapi dipimpin oleh seorang Pejabat sementara yang merupakan ASN di Kantor walikota Kota Tual dan sehari-hari berdomisili di pusat pemerintahan Kota. Selain itu, Pjs Kades Desa Dullah laut juga tidak mengetahui RPJMDes dan data yang berhubungan dengan kepentingan administrasi desa seperti jumlah penduduk, jumlah KK, jumlah bangunan, fasilitas umum dan hal-hal terkait lainnya. Sebuah hal miris bagi saya pribadi ketika diarahkan ke Sekretaris Desa (yang ternyata masih saudara sepupuan Pjs. Kades) karena yang bersangkutan tidak memiliki data yang kami butuhkan, setelah kami selesai melakukan survei di Kota Tual, Pjs. Kades Dullah Laut malah menanyakan data jumlah penduduk, KK, bangunan dan fasum yang ada di desa yang dia pimpin. Selain karena beliau adalah putra daerah, tentu saja jabatan yang ia emban membuat permintaannya kepada kami terlihat tidak etis dan tidak biasa

oh iya. Banyak yang bertanya, apa peduli saya sehingga menulis tentang kondisi yang saya lihat di Maluku?
Singkat saja. KATONG BERSAUDARA!