Minggu, 21 Juli 2019

sepenggal cerita dari timur

Toleransi menjadi sebuah kata yang erat kaitannya dengan politik belakangan ini. Kata ini kerap didengungkan saat akan ada pemilihan kepala daerah apabila salah satu calon kepala daerah ada yang beragama berbeda dengan mayoritas penduduk di daerah tersebut. Lihat saja Pilgub Jakarta. Namun penggunaan kata "Toleransi" tersebut sangat berbeda dengan “Toleransi” antar umat beragama yang saya rasakan saat menginjakkan kaki di Desa Dullah Laut.

Desa Dullah Laut, merupakan sebuah desa yang terletak di Pulau Duroa Kota Tual Provinsi Maluku. Mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun di desa ini terdapat sebuah dusun yang hanya dihuni oleh orang-orang beragama kristen (Dusun Duroa). Menurut banyak warga yang saya wawancarai, ketika konflik antar penganut agama (kristen-islam) yang melanda Maluku tahun 1999 silam, desa ini tidak terpengaruh sama sekali. Malahan, penduduk Muslim di desa ini menjaga penduduk kristen yang jumlahnya lebih sedikit dari serangan Muslim dari luar desa. Begitulah masyarakat Desa Dullah Laut memberikan contoh bagaimana sebenarnya toleransi itu, walaupun mereka jauh dari hingar bingar kota besar dan belum terlalu diperhatikan “oleh pembangunan”.


bersama dua orang penerus bangsa asli Tual.
Pembangunan yang tertinggal, itulah kalimat yang dirasa tepat apabila disematkan ke Desa Dullah Laut. Selain karena letak geografisnya yang berada di Timur Indonesia, Desa Ini juga terpisah dari pusat pemerintahan Kota Tual karena Desa Dullah Laut berada di Pulau yang berbeda. Selain keterbatasan fasilitas umum, desa ini juga belum dialiri listrik. Walaupun pada tahun 2018 silam di desa ini sudah dibangun gardu mesin PLTD, namun waktu pengoperasian sumber listrik di desa ini belum diketahui. Selain itu, di desa ini juga ada para pengabdi di dunia kesehatan, para relawan “Nusantara Sehat” yang ditugaskan di puskesmas desa Dullah Laut yang memiliki banyak alat-alat medis "berbahan bakar" listrik, namun hanya dapat digunakan sesekali saja. Sama halnya seperti SM3T, Indonesia Mengajar, Patriot Energi, Ekspedisi NKRI, Ekspedisi Nusantara Jaya, KKN (Kuliah Kerja Nyata) dan program-program kerelawanan pengembangan dan pendampingan masyarakat lainnya tentu menjadi parameter dan indikator khusus bagaimana kita akan menilai kemajuan sebuah daerah.


Berbicara tentang ketertinggalan suatu daerah tentu akan menjadi tidak adil apabila kita hanya melihat dari sudut pandang masyarakat menilai pemerintah saja. Berdasarkan hasil wawancara yang kami lakukan kepada masyarakat, ternyata Desa Dullah Laut ini pernah diberikan generator (PLTD) sebagai sumber listrik di desa ini. Namun akibat kelalaian masyarakat, gardu pembangkit listrik ini terbakar. Kemudian  pada tahun 2011, di desa ini juga dipasang PLTS yang merupakan bantuan KKP, namun seperti sebelumnya, gardu PLTS ini juga terbakar. Konon berdasarkan pengakuan masyarakat, gardu ini terbakar akibat pemakaian listrik yang berlebihan oleh masyarakat. Selain itu, panel surya di desa ini juga dijual oleh oknum perangkat desa pada masa itu kepada masyarakat dengan harga murah.

Selain listrik, desa ini juga memiliki permasalahan lain yaitu sumber air. Tercatat di desa ini hanya ada 5 sumber air yaitu 3 di kampung Muslim (desa), 2 di kampung kristen (dusun). Dan belakangan beberapa sumber air tersebut juga sudah menjadi air slobar (payau atau mengandung garam), seperti sumber air di wilayah pesisir lain di Indonesia. Pada saat kedatangan kami di desa ini, hanya ada satu sumber air tawar yang terletak di dusun, sisanya? Air Payau. Silahkan bayangkan bagaimana mandi karena badan lengket oleh keringat menjadi lengket karena air asin. Benarkah sumber air su dekat?

Di balik keterbatasan yang dialami Desa Dullah laut, desa ini sebenarnya memiliki potensi wisata bahari yang siap menggeser posisi Raja Ampat di Papua Barat sebagai salah satu destinasi wisata bahari terfavorit di Indonesia Timur. Desa Dullah laut memiliki potensi kelautan perikanan berupa beberapa jenis  ikan, lobster, kerang mutiara, teripang, rumput laut dan lain-lain. Namun tidak hadirnya BUMN dan BUMD yang bergerak di bidang kelautan dan perikanan di tengah-tengah nelayan menjadi bukti bahwa potensi ini tidak diperhatikan oleh pemerintah daerah apalagi pemerintah pusat. Selain itu, potensi kelautan desa ini juga dieksploitasi oleh perseorangan tanpa memikirkan profit untuk desa. Salah satunya adalah kerang mutiara. Desa Dullah Laut pernah mengalami konflik karena sebuah pulau. (P. Ohoimas) dikuasai oleh WNI keturunan Tionghoa yang digunakan untuk budidaya kerang mutiara. Namun harga kontrak pemanfaatan lahan (kawasan pulau dan perairannya) sangat rendah. Hal ini menyebabkan protes masyarakat yang konon berujung bentrok antar warga setempat dengan sekelompok massa dari luar pulau yang melindungi kepentingan pemilik budidaya kerang mutiara tersebut.

Selain sejarah berkonflik, sebenarnya juga banyak hal-hal positif yang dapat kita ambil dari masyarakat Maluku khususnya masyarakat Desa Dullah Laut, yang sebagian besar penduduknya adalah nelayan. Dengan keterbatasan utama berupa listrik, mereka dapat hidup dengan optimisme dan hajat merubah hidup yang tak kalah besar dari orang yang hidup di kota besar. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pemuda yang berkuliah dan telah menjadi alumni perguruan tinggi di berbagai daerah di Indonesia. Walaupun susahnya mendapakan pekerjaan dan membuat sebagian besar dari mereka berakhir menjadi nelayan kecil dan penjaga kios milik orang tuanya namun bagaimana selayaknya seorang sarjana, mereka menjaga nalar yang kritis dan maju untuk menyumbangkan gagasan demi kemajuan desa.

Ada yang unik ketika kami mulai mencari akses komunikasi ke pemerintah Desa Dullah Laut. Desa ini tidak dipimpin oleh Kades definitif, tapi dipimpin oleh seorang Pejabat sementara yang merupakan ASN di Kantor walikota Kota Tual dan sehari-hari berdomisili di pusat pemerintahan Kota. Selain itu, Pjs Kades Desa Dullah laut juga tidak mengetahui RPJMDes dan data yang berhubungan dengan kepentingan administrasi desa seperti jumlah penduduk, jumlah KK, jumlah bangunan, fasilitas umum dan hal-hal terkait lainnya. Sebuah hal miris bagi saya pribadi ketika diarahkan ke Sekretaris Desa (yang ternyata masih saudara sepupuan Pjs. Kades) karena yang bersangkutan tidak memiliki data yang kami butuhkan, setelah kami selesai melakukan survei di Kota Tual, Pjs. Kades Dullah Laut malah menanyakan data jumlah penduduk, KK, bangunan dan fasum yang ada di desa yang dia pimpin. Selain karena beliau adalah putra daerah, tentu saja jabatan yang ia emban membuat permintaannya kepada kami terlihat tidak etis dan tidak biasa

oh iya. Banyak yang bertanya, apa peduli saya sehingga menulis tentang kondisi yang saya lihat di Maluku?
Singkat saja. KATONG BERSAUDARA!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar