Toleransi
menjadi sebuah kata yang erat kaitannya dengan politik belakangan ini.
Kata ini kerap didengungkan saat akan ada pemilihan kepala daerah
apabila salah satu calon kepala daerah ada yang beragama berbeda dengan
mayoritas penduduk di daerah tersebut. Lihat saja Pilgub Jakarta. Namun penggunaan kata "Toleransi" tersebut
sangat berbeda dengan “Toleransi” antar umat beragama yang saya rasakan
saat menginjakkan kaki di Desa Dullah Laut.
Desa
Dullah Laut, merupakan sebuah desa yang terletak di Pulau Duroa Kota
Tual Provinsi Maluku. Mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun di
desa ini terdapat sebuah dusun yang hanya dihuni oleh orang-orang beragama
kristen (Dusun Duroa). Menurut banyak warga yang saya wawancarai, ketika konflik antar penganut agama (kristen-islam) yang melanda Maluku
tahun 1999 silam, desa ini tidak terpengaruh sama sekali. Malahan,
penduduk Muslim di desa ini menjaga penduduk kristen yang jumlahnya
lebih sedikit dari serangan Muslim dari luar desa. Begitulah masyarakat Desa Dullah Laut
memberikan contoh bagaimana sebenarnya toleransi itu, walaupun mereka
jauh dari hingar bingar kota besar dan belum terlalu diperhatikan “oleh
pembangunan”.
bersama dua orang penerus bangsa asli Tual. |
Pembangunan
yang tertinggal, itulah kalimat yang dirasa tepat apabila disematkan ke
Desa Dullah Laut. Selain karena letak geografisnya yang berada di Timur
Indonesia, Desa Ini juga terpisah dari pusat pemerintahan Kota Tual
karena Desa Dullah Laut berada di Pulau yang berbeda. Selain
keterbatasan fasilitas umum, desa ini juga belum dialiri listrik.
Walaupun pada tahun 2018 silam di desa ini sudah dibangun gardu mesin
PLTD, namun waktu pengoperasian sumber listrik di desa ini belum
diketahui. Selain itu, di desa ini juga ada para pengabdi di dunia
kesehatan, para relawan “Nusantara Sehat” yang ditugaskan di puskesmas
desa Dullah Laut yang memiliki banyak alat-alat medis "berbahan bakar" listrik, namun hanya
dapat digunakan sesekali saja. Sama halnya seperti SM3T, Indonesia
Mengajar, Patriot Energi, Ekspedisi NKRI, Ekspedisi Nusantara Jaya, KKN
(Kuliah Kerja Nyata) dan program-program kerelawanan pengembangan dan
pendampingan masyarakat lainnya tentu menjadi parameter dan indikator
khusus bagaimana kita akan menilai kemajuan sebuah daerah.
Berbicara
tentang ketertinggalan suatu daerah tentu akan menjadi tidak adil
apabila kita hanya melihat dari sudut pandang masyarakat menilai
pemerintah saja. Berdasarkan hasil wawancara yang kami lakukan kepada
masyarakat, ternyata Desa Dullah Laut ini pernah diberikan generator
(PLTD) sebagai sumber listrik di desa ini. Namun akibat kelalaian
masyarakat, gardu pembangkit listrik ini terbakar. Kemudian pada tahun
2011, di desa ini juga dipasang PLTS yang merupakan bantuan KKP, namun
seperti sebelumnya, gardu PLTS ini juga terbakar. Konon berdasarkan
pengakuan masyarakat, gardu ini terbakar akibat pemakaian listrik yang
berlebihan oleh masyarakat. Selain itu, panel surya di desa ini juga
dijual oleh oknum perangkat desa pada masa itu kepada masyarakat dengan
harga murah.
Selain listrik,
desa ini juga memiliki permasalahan lain yaitu sumber air. Tercatat di
desa ini hanya ada 5 sumber air yaitu 3 di kampung Muslim (desa), 2 di
kampung kristen (dusun). Dan belakangan beberapa sumber air tersebut
juga sudah menjadi air slobar (payau atau mengandung garam), seperti
sumber air di wilayah pesisir lain di Indonesia. Pada saat kedatangan
kami di desa ini, hanya ada satu sumber air tawar yang terletak di
dusun, sisanya? Air Payau. Silahkan bayangkan bagaimana mandi karena
badan lengket oleh keringat menjadi lengket karena air asin. Benarkah
sumber air su dekat?
Di
balik keterbatasan yang dialami Desa Dullah laut, desa ini sebenarnya
memiliki potensi wisata bahari yang siap menggeser posisi Raja Ampat di
Papua Barat sebagai salah satu destinasi wisata bahari terfavorit di
Indonesia Timur. Desa Dullah laut memiliki potensi kelautan perikanan
berupa beberapa jenis ikan, lobster, kerang mutiara, teripang, rumput
laut dan lain-lain. Namun tidak hadirnya BUMN dan BUMD yang bergerak di
bidang kelautan dan perikanan di tengah-tengah nelayan menjadi bukti
bahwa potensi ini tidak diperhatikan oleh pemerintah daerah apalagi
pemerintah pusat. Selain itu, potensi kelautan desa ini juga
dieksploitasi oleh perseorangan tanpa memikirkan profit untuk desa.
Salah satunya adalah kerang mutiara. Desa Dullah Laut pernah mengalami
konflik karena sebuah pulau. (P. Ohoimas) dikuasai oleh WNI keturunan
Tionghoa yang digunakan untuk budidaya kerang mutiara. Namun harga
kontrak pemanfaatan lahan (kawasan pulau dan perairannya) sangat rendah.
Hal ini menyebabkan protes masyarakat yang konon berujung bentrok antar
warga setempat dengan sekelompok massa dari luar pulau yang melindungi
kepentingan pemilik budidaya kerang mutiara tersebut.
Selain
sejarah berkonflik, sebenarnya juga banyak hal-hal positif yang dapat
kita ambil dari masyarakat Maluku khususnya masyarakat Desa Dullah Laut,
yang sebagian besar penduduknya adalah nelayan. Dengan keterbatasan
utama berupa listrik, mereka dapat hidup dengan optimisme dan hajat
merubah hidup yang tak kalah besar dari orang yang hidup di kota besar.
Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pemuda yang berkuliah dan telah
menjadi alumni perguruan tinggi di berbagai daerah di Indonesia.
Walaupun susahnya mendapakan pekerjaan dan membuat sebagian besar dari
mereka berakhir menjadi nelayan kecil dan penjaga kios milik orang
tuanya namun bagaimana selayaknya seorang sarjana, mereka menjaga nalar
yang kritis dan maju untuk menyumbangkan gagasan demi kemajuan desa.
Ada yang unik ketika kami mulai mencari akses komunikasi ke pemerintah Desa Dullah Laut. Desa
ini tidak dipimpin oleh Kades definitif, tapi dipimpin oleh seorang
Pejabat sementara yang merupakan ASN di Kantor walikota Kota Tual dan
sehari-hari berdomisili di pusat pemerintahan Kota. Selain itu, Pjs
Kades Desa Dullah laut juga tidak mengetahui RPJMDes dan data yang
berhubungan dengan kepentingan administrasi desa seperti jumlah
penduduk, jumlah KK, jumlah bangunan, fasilitas umum dan hal-hal terkait
lainnya. Sebuah hal miris bagi saya pribadi ketika diarahkan ke
Sekretaris Desa (yang ternyata masih saudara sepupuan Pjs. Kades) karena
yang bersangkutan tidak memiliki data yang kami butuhkan, setelah kami
selesai melakukan survei di Kota Tual, Pjs. Kades Dullah Laut malah
menanyakan data jumlah penduduk, KK, bangunan dan fasum yang ada di desa
yang dia pimpin. Selain karena beliau adalah putra daerah,
tentu saja jabatan yang ia emban membuat permintaannya kepada kami
terlihat tidak etis dan tidak biasa
oh iya. Banyak yang bertanya, apa peduli saya sehingga menulis tentang kondisi yang saya lihat di Maluku?
Singkat saja. KATONG BERSAUDARA!
oh iya. Banyak yang bertanya, apa peduli saya sehingga menulis tentang kondisi yang saya lihat di Maluku?
Singkat saja. KATONG BERSAUDARA!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar