Jumat, 12 Agustus 2016

dilema mahasiswa ilmu kelautan di kampus kita.


Indonesia merupakan negara dengan garis pantai terpanjang nomor dua di dunia dengan luas lautnya adalah 2/3 dari total luas Indonesia itu sendiri. dengan letak geografis yang berada di antara dua samudera yaitu samudera Pasifik dan samudera Hindia menjadikan negara ini sebagai perlintasan sekaligus penghubung antara aktivitas pelayaran di dua samudera tsb. bla... bla... bla...

sumber: google.com
Begitulah rata-rata pengantar sebuah karya tulis baik ilmiah maupun sebatas artikel dan opini tentang kondisi kelautan dan kemaritiman Indonesia. dengan harapan agar Indonesia menjadi poros maritim dunia, maka seharusnya tenaga kerja dengan disiplin ilmu kelautan dibutuhkan lebih banyak daripada sebelumnya. seperti yang dikatakan oleh salah seorang dosen kita saat masih "freshman year", "kalian tersesat ke jalan yang benar".

Benar adanya, dengan visi menjadi poros maritim, secara tidak sadar lapangan pekerjaan untuk alumni kelautan sewajarnya akan mengalami peningkatan. namun, yang dibutuhkan tentu saja adalah alumni2 kelautan yang cakap pada disiplin ilmunya, bukan yang sarjana asal sarjana. mereka yang wisuda kemudian hanya menambah angka pengangguran Indonesia. ditambah dengan adanya hubungan kerja sama yang marak kita sebut Masyarakat Ekonomi ASEAN yang saya sendiri sebenarnya tidak paham atas dasar apa MEA (AEC) ini diadakan karena cenderung akan meningkatkan angka pengangguran akibat kalah saing dengan kualitas SDM kita yang sekarang ini.

Iya, ada banyak WNI yang sukses di luar sana, tapi apakah mereka memang diinginkan oleh negara? lupakah kita bagaimana latar belakang putera-puteri bangsa meninggalkan indonesia? bagaimana apresiasi negara terhadap para pemilik hak atas kekayaan intelektual (HAKI) menjual "hak"nya tersebut kepada negara luar. saya yakin, masih banyak Habibi-habibi lain di luar sana. yang lebih memilih berkarya di negara luar sana karena negara kita tidak mendukungnya berkarya.
kembali pada pembahasan kita, apabila dihitung dengan angka, total tenaga kerja kelautan untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim sangatlah tidak seimbang. dengan kebutuhan akan skill mahasiswa teknik mulai dari elektro, mesin sampai arsitektur dan ahli "pertukangan" lepas pantai, "offshore" dsb jauh lebih banyak dibutuhkan drpd seorang konservasionis yang melakukan rehabilitasi atas efek samping "poros maritim" tsb. lalu pertanyaannya, bagaimana dengan "kita"??

belajar teknik mesin, elektro hingga teknik sipil "kawasan laut" kita gak ada. ditambah lagi komputasi yang hanya 3sks, itupun hanya sekedar digitasi dan membuat peta. mau menambah skill bermain software dan program2 komputer utk dunia kelautan? belajar di luar aja sana. sertifikasi selam? jangan ditanya, sertifikasi selam hanya tersedia bagi mereka yang mau berkembang. ya, kelompok penyelam dan konservasionis terumbu karang cuma dididik di study club. padahal sangat wajar apabila lisensi selam bagi mahasiswa kelautan dijadikan syarat ujian hasil seperti TOEFL UNRI yang..... ah sudahlah.. (sedihlah kalau diceritain), belum lagi utk menjadi seorang konservasionis kawasan pesisir kita juga hanya dididik di study club. makanya, selain ijazah dan sedikit ilmu yang akan diingat selama perkuliahan, banyak dari kita yang bahkan lari entah kemana, ada yang lari ke hutan dengan LSMnya, ada yang berdagang, ada yang bekerja pada perusahaan ritel, marketing kendaraan dll.

apakah salah!? tentu saja tidak!! tapi akan salah jika kita tidak bersyukur atas pekerjaan yang tidak sesuai disiplin ilmu karena selalu memimpikan pekerjaan yang sesuai dengan ijazah. jadi, dimana letak kekurangannya? kita yg selalu bangga dengan jurusan yang katanya terbaik di UR, jurusan yg bertahan pada predikat A dalam akreditas selama 1 dekade, dosen dengan jam terbang tinggi, penyumbang professor terbanyak di kampus, dll. namun, apabila kebanggaan itu hanya sebatas kebanggaan dan kesombongan yang selalu dipelihara di dada, ditambah dengan kurikulum kita yang membuat kita lebih cocok menjadi seorang pelaku konservasi atas kerusakan karena menjadi poros maritim daripada seorang pewujud "poros maritim yang ramah lingkungan". dengan kurikulum kita yang setengah perikanan setengah ekologi laut dan pesisir ini, kita harus banyak belajar di luar. ada banyak hal yang kita butuhkan untuk menjadi "maritime society" namun tidak akan kita jumpai di kampus kita.

TULISAN INI ADALAH OPINI. mohon maaf atas kalimat yang menyinggung. tentu saja menyinggung sana-sini bukanlah tujuan tulisan ini. pokoknya, jangan panik, mari piknik

JALESVEVA JAYAMAHE!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar