Selasa, 16 Agustus 2016

KITA MASIH MELAWAN ASAP



Naskah asli sebuah tulisan pada kolom YOUNGSTER Koran Harian Tribun Pekanbaru dengan judul yang sama, terbit pada hari Minggu tanggal 13 April 2016


Masih segar dalam ingatan kita, kehadiran Ir. Joko Widodo setelah 37 hari dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia ke Kecamatan Tebing Tinggi Timur Kabupaten Kepulauan Meranti. Blusukan asap presiden yang akrab dipanggil pak Jokowi tersebut merupakan jawaban atas petisi yang dibuat oleh salah seorang warga di desa Sungai Tohor yang ingin agar Presiden ikut merasakan derita masyarakat Riau yang telah belasan tahun merasakan dampak kebakaran hutan dan lahan gambut. Namun, amat disayangkan, selang beberapa waktu setelah dikunjungi Presiden Jokowi beserta arahan saktinya kepada pihak-pihak terkait dan terpercaya untuk memadamkan kebakaran hutan dan lahan, kabut asap yang menghilang setelah diguyur hujan lebat itu seakan menjadi musim ketiga di Sumatera bagian tengah, khususnya di Provinsi Riau. Setelah beberapa bulan menghilang, kabut asap kembali datang.


Seperti menjernihkan aliran mata air yang keruh sejak di hulu, namun usaha penjernihannya dilakukan di hilir. Saya rasa itulah apa yang telah dilakukan pemerintah dalam menangani permasalahan kebakaran hutan dan lahan di Riau. Musim panas datang, pembakaran terjadi, asap muncul, lakukan pemadaman, kurang lebih begitulah yang terjadi hingga membentuk sebuah sirkulasi kebakaran hutan dan lahan. Belum lagi praktek “hukum pisau”, tajam ke bawah (pelaku pembakaran) namun tumpul ke atas (bos-bos perusahan yang terlibat pembakaran lahan). Pelaku pembakaran lahan tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas kesengajaan ataupun kelalaikan mereka yang mengakibatkan bencana kabut asap, namun bos pemilik perusahan pun juga bertanggung jawab dalam permasalahan lingkungan yang terjadi di kawasannya. Bahkan, bos perusahaan yang terlibat kebakaran hutan dan lahan merupakan orang yang paling bertanggung jawab atas karhutla.

Percaya atau tidak, fakta tentang praktek “hukum pisau” dapat kita lihat di berbagai media yang menampilkan berita tentang penegakan hukum kepada pelaku dan perusahan HTI dan sawit yang terlibat pembakaran hutan dan lahan. Tentunya, masyarakat Riau masih ingat kehebohan akibat putusan dan pernyataan seorang hakim di Pengadilan Negeri Palembang tentang lahan kebakaran yang bisa ditanami lagi, itu hanyalah salah satu contoh penegakkan hukum yang saya pikir aneh. Penegakan “hukum pisau” juga terjadi di Riau, sebut saja PT Adei Plantation and Industry di pelalawan dan PT NTFP (National Timber Forest Product) yang pada tahun 2009 berganti nama menjadi PT NSP (National Sagu Prima) di Kabupaten Kepulauan Meranti yang bahkan tidak memiliki dokumen AMDAL (sumber: Catatan Akhir Tahun 2014 JIKALAHARI, 3 Januari 2015). Hal ini memperlihatkan betapa mirisnya birokrasi dan penegakan hukum di negara kita.

Menerima keadaan tentunya bukanlah langkah yang tepat dalam menyikapi permasalahan kabut asap atau yang lebih tepat disebut kejahatan asap. Kejahatan berkelanjutan, terstruktur dan massive akan terjadi kalau orang-orang baik tidak hanya diam. Sewajarnya, gerakan-gerakan dan semangat juang melawan asap yang dikobarkan dari seluruh penjuru dan pelosok-pelosok Riau harus tetap dikobarkan. Walaupun kabut asap belum datang, namun masyarakat Riau harus selalu ingat, kita masih melawan asap. Tapi nyatanya, di saat semua terbuai dengan hal-hal hedonisme dan keduniawian, hanyalah sedikit orang yang masih memiliki kesadaran dan pandangan ke depan. Ketika kedua bola mata dapat memandang luasnya langit biru, hanyalah sedikit organ melawan asap dan kejahatan hutan Riau yang masih mendengungkan perlawanan, lumrah memang.

Aktivis lingkungan yang visioner, akan selalu bergerak dengan ataupun tanpa dukungan masyarakat Riau. Namun ibarat sapu lidi, akan tersebut sapu lidi apabila jumlahnya banyak, memiliki kemampuan untuk menyapu apa yang ada di depannya, kemudian disatukan dengan sebuah ikatan. Dengan kesadaran masyarakat Riau akan bahaya kabut asap yang mengintai dan akan kembali sewaktu-waktu, ditambah lagi dorongan dan dukungan terhadap gerakan melawan asap, tentu sembrawutnya permasalahan kabut asap akan dapat diuraikan. Tidak satupun kita yang ingin provinsi yang dicintainya kacau akibat gerakan satu-padu masyarakatnya, apalagi negara yang selalu di jiwa dan dibela. Namun, tanpa adanya penegakan hukum yang tegas, bersih tanpa tebang pilih akan menguraikan benang kusut kejahatan hutan Riau. Hal ini tentunya tidak akan dapat terjadi apabila semua komponen masyarakat Riau tidak bersatu untuk mendukung pemerintah baik di tingkat kabupaten, provinsi hingga pusat untuk menuntaskan permasalahan di atas.

Walaupun ada sengkuni yang ingin memecah belah bangsa, ataupun kongkalikong antara cukong dan pamong, ataupun komprador asing yang merusak  kepentingan masyarakat dan negara, semua akan disapu habis dengan kekuatan masyarakat yang satu. dalam hal ini, BEM Universitas Riau sebagai salah satu garda depan masyarakat Riau dalam melawan kejahatan, ketimpangan dan kebathilan akan selalu pasang badan untuk mendampingi perjuangan rakyat. Semoga kita tak pernah lelah untuk mengingatkan dalam hal kebaikan dan membisikkan kata-kata pembakar semangat juang. Kejahatan terstruktur dan massive hanya dapat dilawan dengan kebaikan yang terstruktur dan massive pula. Oleh sebab itu, sekali lagi kesadaran kita semua dibutuhkan untuk mendukung pemerintah dalam melawan asap. Mendukung dalam artian mulai dari mengawasi gerak-gerik perusahaan “pembakar lahan”, tidak membuka lahan dengan cara pembakaran hingga mengawal proses hukum terhadap perusahaan pembakar hutan dan lahan. Pemerintah pun seharusnya lebih memperlihatkan rule of law dalam kasus karhutla ini. Penerapan “hukum pisau” di pengadilan juga seharusnya menjadi perhatian khusus karena tidak kalah menghebohkan dan mencoreng wajah dunia peradilan negara kita.

Wanda Syahrian (Mahasiswa Ilmu Kelautan Faperika UR, 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar