Naskah asli sebuah tulisan pada kolom YOUNGSTER Koran Harian Tribun Pekanbaru dengan judul yang sama, terbit pada hari Minggu tanggal 13 April 2016
Masih segar dalam ingatan kita,
kehadiran Ir. Joko Widodo setelah 37 hari dilantik sebagai Presiden Republik
Indonesia ke Kecamatan Tebing Tinggi Timur Kabupaten Kepulauan Meranti. Blusukan
asap presiden yang akrab dipanggil pak Jokowi tersebut merupakan jawaban atas
petisi yang dibuat oleh salah seorang warga di desa Sungai Tohor yang ingin
agar Presiden ikut merasakan derita masyarakat Riau yang telah belasan tahun
merasakan dampak kebakaran hutan dan lahan gambut. Namun, amat disayangkan, selang
beberapa waktu setelah dikunjungi Presiden Jokowi beserta arahan saktinya
kepada pihak-pihak terkait dan terpercaya untuk memadamkan kebakaran hutan dan
lahan, kabut asap yang menghilang setelah diguyur hujan lebat itu seakan
menjadi musim ketiga di Sumatera bagian tengah, khususnya di Provinsi Riau.
Setelah beberapa bulan menghilang, kabut asap kembali datang.
Seperti menjernihkan aliran mata
air yang keruh sejak di hulu, namun usaha penjernihannya dilakukan di hilir.
Saya rasa itulah apa yang telah dilakukan pemerintah dalam menangani
permasalahan kebakaran hutan dan lahan di Riau. Musim panas datang, pembakaran
terjadi, asap muncul, lakukan pemadaman, kurang lebih begitulah yang terjadi
hingga membentuk sebuah sirkulasi kebakaran hutan dan lahan. Belum lagi praktek
“hukum pisau”, tajam ke bawah (pelaku pembakaran) namun tumpul ke atas (bos-bos
perusahan yang terlibat pembakaran lahan). Pelaku pembakaran lahan tidak bisa
disalahkan sepenuhnya atas kesengajaan ataupun kelalaikan mereka yang mengakibatkan
bencana kabut asap, namun bos pemilik perusahan pun juga bertanggung jawab
dalam permasalahan lingkungan yang terjadi di kawasannya. Bahkan, bos
perusahaan yang terlibat kebakaran hutan dan lahan merupakan orang yang paling
bertanggung jawab atas karhutla.
Percaya atau tidak, fakta tentang
praktek “hukum pisau” dapat kita lihat di berbagai media yang menampilkan
berita tentang penegakan hukum kepada pelaku dan perusahan HTI dan sawit yang
terlibat pembakaran hutan dan lahan. Tentunya, masyarakat Riau masih ingat
kehebohan akibat putusan dan pernyataan seorang hakim di Pengadilan Negeri
Palembang tentang lahan kebakaran yang bisa ditanami lagi, itu hanyalah salah
satu contoh penegakkan hukum yang saya pikir aneh. Penegakan “hukum pisau” juga
terjadi di Riau, sebut saja PT Adei Plantation and Industry di pelalawan dan PT
NTFP (National Timber Forest Product) yang pada tahun 2009 berganti nama
menjadi PT NSP (National Sagu Prima) di Kabupaten Kepulauan Meranti yang bahkan
tidak memiliki dokumen AMDAL (sumber: Catatan Akhir Tahun 2014 JIKALAHARI, 3
Januari 2015). Hal ini memperlihatkan betapa mirisnya birokrasi dan penegakan
hukum di negara kita.
Menerima keadaan tentunya
bukanlah langkah yang tepat dalam menyikapi permasalahan kabut asap atau yang
lebih tepat disebut kejahatan asap. Kejahatan berkelanjutan, terstruktur dan
massive akan terjadi kalau orang-orang baik tidak hanya diam. Sewajarnya,
gerakan-gerakan dan semangat juang melawan asap yang dikobarkan dari seluruh
penjuru dan pelosok-pelosok Riau harus tetap dikobarkan. Walaupun kabut asap
belum datang, namun masyarakat Riau harus selalu ingat, kita masih melawan
asap. Tapi nyatanya, di saat semua terbuai dengan hal-hal hedonisme dan
keduniawian, hanyalah sedikit orang yang masih memiliki kesadaran dan pandangan
ke depan. Ketika kedua bola mata dapat memandang luasnya langit biru, hanyalah
sedikit organ melawan asap dan kejahatan hutan Riau yang masih mendengungkan
perlawanan, lumrah memang.
Aktivis lingkungan yang visioner,
akan selalu bergerak dengan ataupun tanpa dukungan masyarakat Riau. Namun
ibarat sapu lidi, akan tersebut sapu lidi apabila jumlahnya banyak, memiliki
kemampuan untuk menyapu apa yang ada di depannya, kemudian disatukan dengan
sebuah ikatan. Dengan kesadaran masyarakat Riau akan bahaya kabut asap yang
mengintai dan akan kembali sewaktu-waktu, ditambah lagi dorongan dan dukungan
terhadap gerakan melawan asap, tentu sembrawutnya permasalahan kabut asap akan
dapat diuraikan. Tidak satupun kita yang ingin provinsi yang dicintainya kacau
akibat gerakan satu-padu masyarakatnya, apalagi negara yang selalu di jiwa dan
dibela. Namun, tanpa adanya penegakan hukum yang tegas, bersih tanpa tebang
pilih akan menguraikan benang kusut kejahatan hutan Riau. Hal ini tentunya
tidak akan dapat terjadi apabila semua komponen masyarakat Riau tidak bersatu
untuk mendukung pemerintah baik di tingkat kabupaten, provinsi hingga pusat
untuk menuntaskan permasalahan di atas.
Walaupun ada sengkuni yang ingin
memecah belah bangsa, ataupun kongkalikong antara cukong dan pamong, ataupun
komprador asing yang merusak kepentingan
masyarakat dan negara, semua akan disapu habis dengan kekuatan masyarakat yang
satu. dalam hal ini, BEM Universitas Riau sebagai salah satu garda depan
masyarakat Riau dalam melawan kejahatan, ketimpangan dan kebathilan akan selalu
pasang badan untuk mendampingi perjuangan rakyat. Semoga kita tak pernah lelah
untuk mengingatkan dalam hal kebaikan dan membisikkan kata-kata pembakar
semangat juang. Kejahatan terstruktur dan massive hanya dapat dilawan dengan
kebaikan yang terstruktur dan massive pula. Oleh sebab itu, sekali lagi
kesadaran kita semua dibutuhkan untuk mendukung pemerintah dalam melawan asap.
Mendukung dalam artian mulai dari mengawasi gerak-gerik perusahaan “pembakar
lahan”, tidak membuka lahan dengan cara pembakaran hingga mengawal proses hukum
terhadap perusahaan pembakar hutan dan lahan. Pemerintah pun seharusnya lebih
memperlihatkan rule of law dalam kasus karhutla ini. Penerapan “hukum pisau” di
pengadilan juga seharusnya menjadi perhatian khusus karena tidak kalah
menghebohkan dan mencoreng wajah dunia peradilan negara kita.
Wanda Syahrian (Mahasiswa Ilmu
Kelautan Faperika UR, 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar