Selasa, 16 Agustus 2016

DARURAT MORAL PANCASILA

Naskah asli sebuah tulisan pada kolom YOUNGSTER Koran Harian Tribun Pekanbaru dengan judul HARUS DIBERANTAS yang terbit pada hari Minggu tanggal 24 Maret 2016


Wanda Syahrian (Mahasiswa Ilmu Kelautan Faperika UR, 2011), Dirjen Observasi dan Konservasi Lingkungan Hidup BEM UR

Setelah dihebohkan oleh penangkapan Gubernur Riau di Jakarta, beberapa waktu belakangan ini Indonesia kembali dihebohkan atas penetapan mantan anggota DPRD Provinsi Riau sebagai tersangka oleh KPK. Penetapan status tersangka ini betul-betul mengagetkan masyarakat yang beberapa waktu lalu sempat was-was akan datangnya kabut asap akibat karhutla. Namun ternyata, kegemparan di bumi lancing kuning adalah kegemparan akibat kasus darurat moral pejabat-pejabat di pemerintahan. Pusaran korupsi di provinsi Riau ini seolah akan menyeret semua pejabat-pejabat pemerintahan. Mengingat, seorang Gubernur pada periode sebelumnya juga sudah menjadi tahanan KPK. Moral para pejabat pemerintah memang sedang diuji dengan putaran uang dengan jumlah besar di bumi melayu ini.

Tidak amanah adalah salah satu sifat yang mencerminkan para pelaku korupsi. Setelah mendapat kursi enak berkat suara rakyat, mereka lalai dan lupa dengan tanggung jawabnya. Tidak cukup sampai di situ, mereka bahkan menyalah gunakan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri. Seharusnya, para pejabat yang menjadi pelayan dan perwakilan rakyat dalam menjalankan dan mengawasi roda pemerintahan mengingat tugas dan tanggung jawab mereka. Mereka harus mawas diri. Ingat keluarga dan ingat akhirat saat godaan korupsi, suap, penyalah gunaan wewenang dan semua tindakan yang melawan hukum datang menghampirinya.


Kita tentu berfikir, selain satu mantan anggota DPRD yang telah menjadi tersangka, masih ada tersangka lain yang akan segera terungkap setelah penyelidikan lanjut dan kasus bergulir dipersidangan. Hal ini senantiasa terjadi dalam kasus-kasus korupsi lainnya. Para tersangka yang merugikan keuangan Negara akan “bernyanyi” saat dia sadar posisinya sudah terancam. Kalau saja hal ini terjadi, maka sebuah tamparan keras bagi masyarakat Riau yang akan membuat kita harus sangat berhati-hati dalam memilih pemimpin dan perwakilan di dalam dewan. Jangan sampai kita memberikan peluang dan mengantarkan “tikus-tikus kantor” ke lahan yang sangat disukainya.

Apa hendak dikata, riau yang katanya provinsi ketiga terbesar dengan kasus korupsi seolah menjadi fokus KPK dalam tugasnya, bagus memang, untuk membersihkan Riau dari koruptor. Berdasarkan UU Nomor 30 tahun 2002, KPK diberikan tugas  untuk memberantas korupsi secara professional, intensif dan berkesinambungan. KPK adalah lembaga independent dan dalam melakukan tugasnya, KPK bebas dari intervensi dan tekanan siapapun. Tidak peduli dia menteri, gubernur, bupati, DPRD ataupun pimpinan lembaga lainnya, pelaku korupsi harus disikat habis oleh KPK. Namun nyatanya hingga saat ini, namun nyatanya, KPK terlihat tebang pilih dalam pelaksaan tugasnya. 

Kita dapat melihat, masih banyak kasus besar yang akan menyeret pejabat-pejabat tinggi Negara yang seakan-akan berkas penanganan korupsi pejabat-pejabat di pemerintah pusat tersebut disimpan di dalam lemari oleh KPK. Padahal, secara kasar sudah terlihat akan menjadikan mereka sebagai tersangka. Belum lagi jaringan KKN di Ibukota Indonesia, Jakarta. Temuan dan hasil audit BPK dalam kasus Sumber Waras harusnya mengantarkan gubernur DKI Jakarta ke meja hijau, namun hingga saat ini, gubernur tersebut masih leluasa menghirup udara bebas dan masih menunjukkan eksistensinya kepada publik. Belum lagi mega skandal BLBI, Bailout Bank Century, wisma Atlet di Hambalang dan masih banyak kasus-kasus yang sangat kasat mata dan sudah lama tercium publik, namun kasusnya didinginkan begitu saja oleh KPK. 

Disengaja atau tidak, fokus KPK dalam pemberantasan Korupsi seperti telah buyar. Lima asas pelaksaan tugas KPK (Kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum dan proposionalitas) mungkin hanyalah tinggal kenangan. Tidak perlu melakukan kajian-kajian khusus dengan pengamat politik, masyarakat dalam menilai KPK. Ketika KPK garang dan tanpa rasa ragu menetapkan pejabat-pejabat di Provinsi Riau sebagai tersangka, namun selalu mengulur-ulur waktu dalam penuntasan kasus mega skandal yang akan menyeret nama-nama besar di pemerintahan pusat. Tentu saja kita bukanlah bermaksud untuk menolak pemberantasan korupsi di Provinsi Riau, namun seharusnya KPK tidak memberlakukan standard ganda dalam semangat pemberantasan korupsi.

Dengan sebutan kebanggaan sebagai lembaga anti rasuah, Komisi Pemberantasan Korupsi harus berbenah. Menata ulang semangat yang termaktub di dalam landasan hukum pembentukan KPK. Kalau tidak ada perubahan nyata dalam pergerakan KPK untuk memberantas korupsi, jangan salahkan kalau masyarakat hanya akan menilai kekurangan-kekurangan dan senantiasa mengkritik atau bahkan menghujat KPK. Kepercayaan masyarakat tentu saja bergantung kepada bagaimana KPK bekerja. Penegakan hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas akan membawa KPK ke dalam antipati masyarakat. Dalam hal ini, apabila masyarakat Riau tidak melihat KPK sebagai lembaga independent dalam menuntaskan kasus korupsi dan menganggap KPK melakukan tebang pilih dalam penegakan hukum, maka hal ini terjadi adalah sebagai akibat kinerja KPK yang memang demikian adanya. Dengan penetapan mantan anggota DPRD Provinsi Riau sebagai tersangka, ditambah lagi Riau yang dijadikan KPK sebagai fokus dalam bekerja (dalam hal ini tentu saja memberantas tindak pidana korupsi), tentu saja masyarakat Riau akan senang, namun di balik kesenangan itu, aka nada suara-suara kritis yang akan membawa masyarakat Riau untuk menolak KPK.

Korupsi harus diberantas. Namun bersikap adil juga harus diutamakan. Revolusi mental yang didengungkan Jokowi, tidaklah harus diterima masyrakat, karena Revolusi mental itu harus dilakukan oleh pejabat-pejabat dan aparat penegak hukum yang pada saat ini sangat jauh dari Pancasila. Ketimpangan-ketimpangan dan penyimpangan sosial yang terjadi beberapa tahun belakangan ini seperti memberikan gambaran kepada kita bagaimana kondisi bangsa kita saat ini. Seolah Indonesia sedang sakit, maka komplikasi adalah istilah medis paling tepat untuk dikatakan sebagai keadaan umum Indonesia. Entah apa yang terjadi dengan bangsa ini. Selain kehebohan yang terjadi di masyarakat biasa, kriminalitas yang tinggi oleh “wong cilik”, pejabat tanggung berekening gendut, kekerasan oleh keluarga pejabat hingga jaringan KKN besar di kalangan elite. Mungkin akibat penghapusan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila kepada para pelajar, sehingga nilai-nilai moral kita pada hari ini sangat jauh dari cita-cita pancasila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar