Naskah asli sebuah tulisan pada kolom YOUNGSTER Koran Harian Tribun Pekanbaru dengan judul HARUS DIBERANTAS yang terbit pada hari Minggu tanggal 24 Maret 2016
Wanda Syahrian (Mahasiswa Ilmu
Kelautan Faperika UR, 2011), Dirjen Observasi dan Konservasi Lingkungan Hidup
BEM UR
Setelah
dihebohkan oleh penangkapan Gubernur Riau di Jakarta, beberapa waktu belakangan
ini Indonesia kembali dihebohkan atas penetapan mantan anggota DPRD Provinsi Riau
sebagai tersangka oleh KPK. Penetapan status tersangka ini betul-betul
mengagetkan masyarakat yang beberapa waktu lalu sempat was-was akan datangnya
kabut asap akibat karhutla. Namun ternyata, kegemparan di bumi lancing kuning
adalah kegemparan akibat kasus darurat moral pejabat-pejabat di pemerintahan. Pusaran
korupsi di provinsi Riau ini seolah akan menyeret semua pejabat-pejabat
pemerintahan. Mengingat, seorang Gubernur pada periode sebelumnya juga sudah
menjadi tahanan KPK. Moral para pejabat pemerintah memang sedang diuji dengan
putaran uang dengan jumlah besar di bumi melayu ini.
Tidak
amanah adalah salah satu sifat yang mencerminkan para pelaku korupsi. Setelah
mendapat kursi enak berkat suara rakyat, mereka lalai dan lupa dengan tanggung
jawabnya. Tidak cukup sampai di situ, mereka bahkan menyalah gunakan kekuasaan
untuk memperkaya diri sendiri. Seharusnya, para pejabat yang menjadi pelayan
dan perwakilan rakyat dalam menjalankan dan mengawasi roda pemerintahan
mengingat tugas dan tanggung jawab mereka. Mereka harus mawas diri. Ingat
keluarga dan ingat akhirat saat godaan korupsi, suap, penyalah gunaan wewenang
dan semua tindakan yang melawan hukum datang menghampirinya.
Kita
tentu berfikir, selain satu mantan anggota DPRD yang telah menjadi tersangka,
masih ada tersangka lain yang akan segera terungkap setelah penyelidikan lanjut
dan kasus bergulir dipersidangan. Hal ini senantiasa terjadi dalam kasus-kasus
korupsi lainnya. Para tersangka yang merugikan keuangan Negara akan “bernyanyi”
saat dia sadar posisinya sudah terancam. Kalau saja hal ini terjadi, maka
sebuah tamparan keras bagi masyarakat Riau yang akan membuat kita harus sangat
berhati-hati dalam memilih pemimpin dan perwakilan di dalam dewan. Jangan
sampai kita memberikan peluang dan mengantarkan “tikus-tikus kantor” ke lahan
yang sangat disukainya.
Apa
hendak dikata, riau yang katanya provinsi ketiga terbesar dengan kasus korupsi
seolah menjadi fokus KPK dalam tugasnya, bagus memang, untuk membersihkan Riau
dari koruptor. Berdasarkan UU Nomor 30 tahun 2002, KPK diberikan tugas untuk memberantas korupsi secara
professional, intensif dan berkesinambungan. KPK adalah lembaga independent dan
dalam melakukan tugasnya, KPK bebas dari intervensi dan tekanan siapapun. Tidak
peduli dia menteri, gubernur, bupati, DPRD ataupun pimpinan lembaga lainnya,
pelaku korupsi harus disikat habis oleh KPK. Namun nyatanya hingga saat ini,
namun nyatanya, KPK terlihat tebang pilih dalam pelaksaan tugasnya.
Kita
dapat melihat, masih banyak kasus besar yang akan menyeret pejabat-pejabat
tinggi Negara yang seakan-akan berkas penanganan korupsi pejabat-pejabat di
pemerintah pusat tersebut disimpan di dalam lemari oleh KPK. Padahal, secara
kasar sudah terlihat akan menjadikan mereka sebagai tersangka. Belum lagi
jaringan KKN di Ibukota Indonesia, Jakarta. Temuan dan hasil audit BPK dalam
kasus Sumber Waras harusnya mengantarkan gubernur DKI Jakarta ke meja hijau,
namun hingga saat ini, gubernur tersebut masih leluasa menghirup udara bebas
dan masih menunjukkan eksistensinya kepada publik. Belum lagi mega skandal
BLBI, Bailout Bank Century, wisma Atlet di Hambalang dan masih banyak
kasus-kasus yang sangat kasat mata dan sudah lama tercium publik, namun
kasusnya didinginkan begitu saja oleh KPK.
Disengaja
atau tidak, fokus KPK dalam pemberantasan Korupsi seperti telah buyar. Lima
asas pelaksaan tugas KPK (Kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas,
kepentingan umum dan proposionalitas) mungkin hanyalah tinggal kenangan. Tidak
perlu melakukan kajian-kajian khusus dengan pengamat politik, masyarakat dalam
menilai KPK. Ketika KPK garang dan tanpa rasa ragu menetapkan pejabat-pejabat
di Provinsi Riau sebagai tersangka, namun selalu mengulur-ulur waktu dalam
penuntasan kasus mega skandal yang akan menyeret nama-nama besar di
pemerintahan pusat. Tentu saja kita bukanlah bermaksud untuk menolak
pemberantasan korupsi di Provinsi Riau, namun seharusnya KPK tidak
memberlakukan standard ganda dalam semangat pemberantasan korupsi.
Dengan
sebutan kebanggaan sebagai lembaga anti rasuah, Komisi Pemberantasan Korupsi
harus berbenah. Menata ulang semangat yang termaktub di dalam landasan hukum
pembentukan KPK. Kalau tidak ada perubahan nyata dalam pergerakan KPK untuk
memberantas korupsi, jangan salahkan kalau masyarakat hanya akan menilai
kekurangan-kekurangan dan senantiasa mengkritik atau bahkan menghujat KPK.
Kepercayaan masyarakat tentu saja bergantung kepada bagaimana KPK bekerja.
Penegakan hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas akan membawa KPK ke
dalam antipati masyarakat. Dalam hal ini, apabila masyarakat Riau tidak melihat
KPK sebagai lembaga independent dalam menuntaskan kasus korupsi dan menganggap
KPK melakukan tebang pilih dalam penegakan hukum, maka hal ini terjadi adalah sebagai
akibat kinerja KPK yang memang demikian adanya. Dengan penetapan mantan anggota
DPRD Provinsi Riau sebagai tersangka, ditambah lagi Riau yang dijadikan KPK
sebagai fokus dalam bekerja (dalam hal ini tentu saja memberantas tindak pidana
korupsi), tentu saja masyarakat Riau akan senang, namun di balik kesenangan
itu, aka nada suara-suara kritis yang akan membawa masyarakat Riau untuk
menolak KPK.
Korupsi
harus diberantas. Namun bersikap adil juga harus diutamakan. Revolusi mental
yang didengungkan Jokowi, tidaklah harus diterima masyrakat, karena Revolusi
mental itu harus dilakukan oleh pejabat-pejabat dan aparat penegak hukum yang
pada saat ini sangat jauh dari Pancasila. Ketimpangan-ketimpangan dan
penyimpangan sosial yang terjadi beberapa tahun belakangan ini seperti
memberikan gambaran kepada kita bagaimana kondisi bangsa kita saat ini. Seolah
Indonesia sedang sakit, maka komplikasi adalah istilah medis paling tepat untuk
dikatakan sebagai keadaan umum Indonesia. Entah apa yang terjadi dengan bangsa
ini. Selain kehebohan yang terjadi di masyarakat biasa, kriminalitas yang
tinggi oleh “wong cilik”, pejabat tanggung berekening gendut, kekerasan oleh
keluarga pejabat hingga jaringan KKN besar di kalangan elite. Mungkin akibat
penghapusan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila kepada para pelajar,
sehingga nilai-nilai moral kita pada hari ini sangat jauh dari cita-cita
pancasila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar