Sabtu, 20 Agustus 2016

dibuang sayang


teriring salam dan do'a....

tanpa bermaksud menyinggung siapapun yang merasa tersinggung akibat tulisan dari orang yang bahkan jarang membaca dan tidak pandai menulis ini..
tulisan ini hanyalah sebuah catatan muhasabah diri bagi kita semua, terlebih saya sendiri. adapun tulisan ini terfikirkan saat saya merasakan sebuah kegelisahan akan trend menulis belakangan ini.

bukan berniat menggurui, apalagi berlagak lebih senior, tapi anggap saja tulisan ini sebagai sebuah pengingat dari orang yang juga pernah berproses walaupun jauh dari kata "totalitas". saat ini, saya berada pada posisi di luar lapangan bola, saya hanya bisa mengkritik, mencaci maki dan lain-lain. entah teriakan saya akan didengar atau dijalankan, tetap saja itu kuasa para pemain.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh....

ANTARA MEMBACA, MENULIS & DISKUSI

Selasa, 16 Agustus 2016

KITA MASIH MELAWAN ASAP



Naskah asli sebuah tulisan pada kolom YOUNGSTER Koran Harian Tribun Pekanbaru dengan judul yang sama, terbit pada hari Minggu tanggal 13 April 2016


Masih segar dalam ingatan kita, kehadiran Ir. Joko Widodo setelah 37 hari dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia ke Kecamatan Tebing Tinggi Timur Kabupaten Kepulauan Meranti. Blusukan asap presiden yang akrab dipanggil pak Jokowi tersebut merupakan jawaban atas petisi yang dibuat oleh salah seorang warga di desa Sungai Tohor yang ingin agar Presiden ikut merasakan derita masyarakat Riau yang telah belasan tahun merasakan dampak kebakaran hutan dan lahan gambut. Namun, amat disayangkan, selang beberapa waktu setelah dikunjungi Presiden Jokowi beserta arahan saktinya kepada pihak-pihak terkait dan terpercaya untuk memadamkan kebakaran hutan dan lahan, kabut asap yang menghilang setelah diguyur hujan lebat itu seakan menjadi musim ketiga di Sumatera bagian tengah, khususnya di Provinsi Riau. Setelah beberapa bulan menghilang, kabut asap kembali datang.

DARURAT MORAL PANCASILA

Naskah asli sebuah tulisan pada kolom YOUNGSTER Koran Harian Tribun Pekanbaru dengan judul HARUS DIBERANTAS yang terbit pada hari Minggu tanggal 24 Maret 2016


Wanda Syahrian (Mahasiswa Ilmu Kelautan Faperika UR, 2011), Dirjen Observasi dan Konservasi Lingkungan Hidup BEM UR

Setelah dihebohkan oleh penangkapan Gubernur Riau di Jakarta, beberapa waktu belakangan ini Indonesia kembali dihebohkan atas penetapan mantan anggota DPRD Provinsi Riau sebagai tersangka oleh KPK. Penetapan status tersangka ini betul-betul mengagetkan masyarakat yang beberapa waktu lalu sempat was-was akan datangnya kabut asap akibat karhutla. Namun ternyata, kegemparan di bumi lancing kuning adalah kegemparan akibat kasus darurat moral pejabat-pejabat di pemerintahan. Pusaran korupsi di provinsi Riau ini seolah akan menyeret semua pejabat-pejabat pemerintahan. Mengingat, seorang Gubernur pada periode sebelumnya juga sudah menjadi tahanan KPK. Moral para pejabat pemerintah memang sedang diuji dengan putaran uang dengan jumlah besar di bumi melayu ini.

Tidak amanah adalah salah satu sifat yang mencerminkan para pelaku korupsi. Setelah mendapat kursi enak berkat suara rakyat, mereka lalai dan lupa dengan tanggung jawabnya. Tidak cukup sampai di situ, mereka bahkan menyalah gunakan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri. Seharusnya, para pejabat yang menjadi pelayan dan perwakilan rakyat dalam menjalankan dan mengawasi roda pemerintahan mengingat tugas dan tanggung jawab mereka. Mereka harus mawas diri. Ingat keluarga dan ingat akhirat saat godaan korupsi, suap, penyalah gunaan wewenang dan semua tindakan yang melawan hukum datang menghampirinya.

Sabtu, 13 Agustus 2016

INTRODUCTION I


Wanda Syahrian (Insya Allah akan) S.Pi yang merupakan anak ke 2 dari 5 bersaudara ini lahir di Bukittinggi pada 30 Juni 1992 silam. Terlahir sebagai seorang adik dan merangkap seorang “abang” bagi ketiga adik perempuan membuat Ia berfikir, "saya berada di posisi yang sulit. Selain harus memberikan contoh yang baik kepada adik-adik saya, saya juga memiliki contoh dalam bersikap yaitu seorang abang, sehingga apabila saya salah dalam bertingkah laku, saya akan memojokkan diri saya sendiri". Selain mewarisi darah Minangkabau dari kedua orang tua, ia juga mewarisi suku yang diturunkan secara matrilineal oleh orang Minang yang bukan orang Padang, yaitu suku Jambak.

Pemuda pengangguran intelektual yang  memiliki hobbi nan tidak jelas ini sedang menempuh pendidikan Strata satu atau mahasiswa program (paksa) sarjana di jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, semester banyak. Walaupun tertatih-tatih menyelesaikan kuliah S1, pemuda musang (Siang lalok malam batanggang) ini terus memimpikan untuk melanjutkan studi paska sarjana. Tidak tanggung-tanggung, dia bahkan bercita-cita melanjutkan S2 ke luar negeri walaupun dia tau (semua orang juga tau), selain bahasa Minang dan Bahasa Indonesia (yang logatnya apabila didengar oleh orang melayu akan membuat dia dikira orang Batak), ia tidak menguasai satu pun bahasa asing walaupun hanya sekedar percakapan sehari-hari berbahasa Inggris. Mau keluar negeri tanpa menguasai (minimal) Bahasa Inggris? Hahahaha
 itu lah yang menarik dari cita-cita sang cowok cool tersebut. Iya, tentu saya adalah cowok cool yang dimaksud.

  Pemuda yang senantiasa berbahasa Minang dengan orang Minang yang dijumpainya di manapun ini mengisi waktu luang dengan tidur dan malas-malasan. sesekali si pecinta masakan nyokap ini meluangkan waktu untuk membaca buku-buku tentang lingkungan hidup, sejarah, hukum, autobiografi hingga komik. Anak lelaki yang gampang suntuk ini juga lebih banyak mengasah pola pikirnya dengan hal-hal yang jauh dari kewajibannya sebagai mahasiswa. Bukan memikirkan teori perkuliahan, konspirasi, filsafat ataupun matematika yang akan membuat ARUS PENDEK di dalam kepalanya , dia lebih suka hibernasi.


Tidak hanya temperamental, Wanda yang mengekstrak sifat iri menjadi motivasi bagi dirinyasendiri acap kali kesusahan karena tidak mau kalah sebab ia selalu menggunakan prinsip “kalau orang bisa, aku juga bisa”, sehingga ia selalu saja ngotot memaksakan diri untuk melakukan hal-hal yang ia mau, padahal jiwa dan raga ini sebenarnya sudah mau menyerah.

Harapan untuk Kemajuan Budaya Maritim Indonesia,



(Tulisan ini merupakan essay saya saat seleksi pertama Ekspedisi Nusantara Jaya 2016)

Sejak dulu, Indonesia dikenal sebagi negara yang memiliki potensi maritim yang hebat. Hal ini merupakan keuntungan karena Indonesia adalah negara yang terdiri atas ribuan pulau, baik yang berukuran besar ataupun. Oleh sebab itu, perairan laut Indonesia yang kaya akan berbagai macam biota laut baik flora maupun fauna dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Tidak hanya dari potensi ekologis, karena berada di wilayah geografis yang menguntungkan, yaitu di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, Indonesia menjadi jalur yang menghubungkan dua samudera itu dan disebut-sebut sebagai jalur yang penting bagi lalu lintas perdagangan dunia.

Walaupun dalam catatan sejarah, Indonesia merupakan negara maritim yang sangat kuat, tetapi semenjak keruntuhan Majapahit, kita lebih banyak membangun peradaban di darat. Padahal, sektor maritim Indonesia memiliki potensi untuk menyumbang Rp 3.000 trilyun per tahun, walaupun saat ini yang terealisasi masih sekitar Rp 290 trilyun (Sharif Sutardjo, 2014). Sektor maritim ini, apabila dikelola secara berkesinambungan, akan menghasilkan jutaan lapangan pekerjaan untuk tenaga kerja Indonesia. Potensi besar ini tidak hanya berasal dari sektor perikanan tangkap, melainkan juga dari perikanan budidaya serta potensi-potensi yang bersumber dari kawasan pesisir dan laut lainnya. Tetapi selama ini kita belum mampu mengoptimalkan potensi tersebut akibat memfokuskan kegiatan ekonomi pada potensi yang berada di darat melalui pertanian, peternakan, perkebunan dan kehutanan, pertambangan, serta industri  yang cenderung memberikan dampak yang buruk dan meningkatkan laju kerusakan lingkungan.

KAMPUNG KAMI BEBAS KEMISKINAN TAHUN 2015 (sebuah catatan pada halaman fb 31/10/2014)

kami anak kampung, lahir dan tumbuh dewasa di kampung yang memang masih kental aroma kampungnya. tak hanya subur, kampung kami juga luas, sangat luas, mulai dari kaki gunung singgalang, sampai ke pesisir tiku, Agam. Mata pencaharian masyarakatnya pun beragam, mulai dr nelayan, petani dan pedagang hingga pengrajin dan pengusaha sekelas industri rumah tangga..

Dengan Rp 5.500, para nelayan di kampung kami dapat memenuhkan satu tangki mesin pompong dengan bio etanol hasil olahan nipah (Nypa fruticans). tidak terlalu jauh dari harga seliter olahan nipah, dengan Rp 6.500, para petani bisa memberikan minum air gula yang juga hasil olahan nipah kpd kerbau untuk membajak sawah, para kusir bendi bisa memberikan minum kuda, para pelaku home industri juga bisa menjalankan mesin produksi sederhana mereka hanya pengan 6.500 Rupiah saja.

Sisi gelap siaran TV

sepertinya memang bisa dikatakan hal yang sangat manusiawi apabila manusia cenderung mencari untung yang sebesar-besarnya tanpa mengindahkan nilai dan norma yang diharapkan sebagai pembatas aktivitas manusia. hal manusiawi tersebut kemudian bermuara pada kerserakahan untuk memperkaya diri dan kelompok. hal ini juga mendera pada pemilik media. mereka mencari untung lewat media miliknya yang memprioritaskan rating tinggi akibat selera tontonan masyarakat yang rendah. dengan menerima untung besar lewat iklan, mereka terus meracuni pikiran masyarakat dengan tontonan murahan, tidak berkelas, rendah kualitas, bahkan cenderung melakukan pembodohan dan memberikan contoh buruk yang berakibat rusaknya moral remaja dan anak-anak.

sumber: google.com
sebut saja beberapa sinetron, seperti anak jalanan dengan motor mahal, padahal istilah anak jalanan lumrah dipakai kpd anak2 yg menggantungkan hidup di jalanan, bukan anak manja hobi tawuran dan hanya menghabiskan harta orang tua. kemudian harimau jadi-jadian yang sangat stylish hidup di hutan, penampilan dan gaya mereka bahkan mengalahkan gaya anak-anak Paris Van Sumatera alias Bukittinggi. dengan bahasa yang indomi (Indonesia-Minang) ala artis ibu kota yang menjijikkan, sudah sangat jauh dari legenda keberadaan Inyiak di ranah Minang. adalagi tukang bubur yang sudah haji, sudah mati, tapi filemnya masih ada hingga kini. padahal tidak ada lagi esensi antara perjuangan seorang tukang bubur yang berusaha menyempurnakan imannya dengan naik haji dlm film tsb karena si tukang bubur sudah mati di tanah tempat haji.

Jumat, 12 Agustus 2016

dilema mahasiswa ilmu kelautan di kampus kita.


Indonesia merupakan negara dengan garis pantai terpanjang nomor dua di dunia dengan luas lautnya adalah 2/3 dari total luas Indonesia itu sendiri. dengan letak geografis yang berada di antara dua samudera yaitu samudera Pasifik dan samudera Hindia menjadikan negara ini sebagai perlintasan sekaligus penghubung antara aktivitas pelayaran di dua samudera tsb. bla... bla... bla...

sumber: google.com
Begitulah rata-rata pengantar sebuah karya tulis baik ilmiah maupun sebatas artikel dan opini tentang kondisi kelautan dan kemaritiman Indonesia. dengan harapan agar Indonesia menjadi poros maritim dunia, maka seharusnya tenaga kerja dengan disiplin ilmu kelautan dibutuhkan lebih banyak daripada sebelumnya. seperti yang dikatakan oleh salah seorang dosen kita saat masih "freshman year", "kalian tersesat ke jalan yang benar".

Benar adanya, dengan visi menjadi poros maritim, secara tidak sadar lapangan pekerjaan untuk alumni kelautan sewajarnya akan mengalami peningkatan. namun, yang dibutuhkan tentu saja adalah alumni2 kelautan yang cakap pada disiplin ilmunya, bukan yang sarjana asal sarjana. mereka yang wisuda kemudian hanya menambah angka pengangguran Indonesia. ditambah dengan adanya hubungan kerja sama yang marak kita sebut Masyarakat Ekonomi ASEAN yang saya sendiri sebenarnya tidak paham atas dasar apa MEA (AEC) ini diadakan karena cenderung akan meningkatkan angka pengangguran akibat kalah saing dengan kualitas SDM kita yang sekarang ini.

Iya, ada banyak WNI yang sukses di luar sana, tapi apakah mereka memang diinginkan oleh negara? lupakah kita bagaimana latar belakang putera-puteri bangsa meninggalkan indonesia? bagaimana apresiasi negara terhadap para pemilik hak atas kekayaan intelektual (HAKI) menjual "hak"nya tersebut kepada negara luar. saya yakin, masih banyak Habibi-habibi lain di luar sana. yang lebih memilih berkarya di negara luar sana karena negara kita tidak mendukungnya berkarya.
kembali pada pembahasan kita, apabila dihitung dengan angka, total tenaga kerja kelautan untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim sangatlah tidak seimbang. dengan kebutuhan akan skill mahasiswa teknik mulai dari elektro, mesin sampai arsitektur dan ahli "pertukangan" lepas pantai, "offshore" dsb jauh lebih banyak dibutuhkan drpd seorang konservasionis yang melakukan rehabilitasi atas efek samping "poros maritim" tsb. lalu pertanyaannya, bagaimana dengan "kita"??

belajar teknik mesin, elektro hingga teknik sipil "kawasan laut" kita gak ada. ditambah lagi komputasi yang hanya 3sks, itupun hanya sekedar digitasi dan membuat peta. mau menambah skill bermain software dan program2 komputer utk dunia kelautan? belajar di luar aja sana. sertifikasi selam? jangan ditanya, sertifikasi selam hanya tersedia bagi mereka yang mau berkembang. ya, kelompok penyelam dan konservasionis terumbu karang cuma dididik di study club. padahal sangat wajar apabila lisensi selam bagi mahasiswa kelautan dijadikan syarat ujian hasil seperti TOEFL UNRI yang..... ah sudahlah.. (sedihlah kalau diceritain), belum lagi utk menjadi seorang konservasionis kawasan pesisir kita juga hanya dididik di study club. makanya, selain ijazah dan sedikit ilmu yang akan diingat selama perkuliahan, banyak dari kita yang bahkan lari entah kemana, ada yang lari ke hutan dengan LSMnya, ada yang berdagang, ada yang bekerja pada perusahaan ritel, marketing kendaraan dll.

apakah salah!? tentu saja tidak!! tapi akan salah jika kita tidak bersyukur atas pekerjaan yang tidak sesuai disiplin ilmu karena selalu memimpikan pekerjaan yang sesuai dengan ijazah. jadi, dimana letak kekurangannya? kita yg selalu bangga dengan jurusan yang katanya terbaik di UR, jurusan yg bertahan pada predikat A dalam akreditas selama 1 dekade, dosen dengan jam terbang tinggi, penyumbang professor terbanyak di kampus, dll. namun, apabila kebanggaan itu hanya sebatas kebanggaan dan kesombongan yang selalu dipelihara di dada, ditambah dengan kurikulum kita yang membuat kita lebih cocok menjadi seorang pelaku konservasi atas kerusakan karena menjadi poros maritim daripada seorang pewujud "poros maritim yang ramah lingkungan". dengan kurikulum kita yang setengah perikanan setengah ekologi laut dan pesisir ini, kita harus banyak belajar di luar. ada banyak hal yang kita butuhkan untuk menjadi "maritime society" namun tidak akan kita jumpai di kampus kita.

TULISAN INI ADALAH OPINI. mohon maaf atas kalimat yang menyinggung. tentu saja menyinggung sana-sini bukanlah tujuan tulisan ini. pokoknya, jangan panik, mari piknik

JALESVEVA JAYAMAHE!!